Mungkin judul tulisan ini tak akan
semeng-gelegar, semeng-geleggak dan seheboh judul bukunya mas Goen “Setelah
Revolusi Tak Ada Lagi"
Karena memang tulisan ini hanya sebuah
refleksi. Sebatas refleksi! Maunya sih ditambah religius jadi refleksi religius
tapi rasanya Kang Haji tidak lihai dalam mengutip dan menempatkan ayat al
Qur'an.
Kang Haji sengaja tidak menyertakan
kutipan ayat secara langsung sebab Kang Haji merasa tidak memiliki kompetensi
dalam hal menafsir al qur'an secara akademis. Selanjutnya, adalah agar tulisan
ini tidak serta merta berubah menjadi sebuah karya tafsir yang rigid, kaku dan
terkesan mengutuk-ngutuk; ini halal dan itu haram! Kan jadi serem juga. Iya gak? Hehehe….
Kedua agar kita, eh maksudnya Kang Haji pribadi, bebas dengan liar terbang
menerawang menghayati sisi kemanusiaan tanpa mesti terkekang oleh katup
disiplin ketat ilmu kalam. Setidaknya dengan beberapa alasan yang Kang Haji
telah sebutkan di awal, tulisan ini menjadi bebas metodologi tetapi bukan
berarti tanpa. Kadang memakai kacamata hitam, dan dengan mudah di tengah jalan
kaca mata hitam itu dilepas untuk kemudian diganti dengan kacamata riben.
Karena metodologi, teori dan konsep apapun itu namanya tidak sakral dan kikuk
dalam pemakaiannya.
Sekali lagi tulisan ini hanya sebuah
upaya untuk mencari yang dibalik hidup. Ok?! Mari kita mulai!
Paling tidak, yang Kang Haji ingat
ketika mau memasuki bulan ramadhan adalah kolek! Ya kolek, sejenis makanan yang
jarang ditemui di luar bulan ramadhan. Kolek-lah yang pertama Kang Haji cari!
Rasanya enak, legit dengan gula merah dan berbagai macam variasi isinya. Ada
kolek waluh, cau, peuyeum, cangkaleng, hui bahkan sampeu pun bisa. Rasa kolek
ini sebenarnya memiliki nuansa yang sunda
pisan.
Entah apakah diluar Jawa Barat ada
yang namanya kolek atau tidak, entah sejak kapan dan di jaman siapa kolek
menjadi makanan khas ramadhan seperti halnya ketupat untuk lebaran. Padahal sih
sah-sah saja untuk membuat kolek, ketupat di luar bulan ramadhan juga. Tak ada
yang melarang, tak ada keterangan syar'i yang menyatakan bahwa membuat kolek di
luar bulan ramadhan haram. Tetapi kenapa?
Apa perbedaan ketupat yang dibuat pada
hari lebaran dan pada hari-hari biasanya? Nggak ada yang beda! Sama-sama saja. Itu
sih menurut Kang Haji, begitu juga dengan pahala disediakan oleh Allah di bulan
ramadhan yang baru beberapa waktu kita tinggalkan. Iya! Apakah pahala yang
diberikan oleh Allah pada bulan ramadhan beda dengan yang diberikan di luar
ramadhan? Secara kuantitas memang beda. Pada bulan ramadhan pahalanya dilipat
gandakan. Tetapi apakah di luar bulan ramadhan pahala itu lantas hilang, dan
tidak ada.
Tidak bukan? Pahala itu tetap ada.
Seperti halnya kolek dan ketupat. Kolek dan ketupat bisa dibuat di luar bulan
ramadhan. Pahala juga bisa didapatkan di luar bulan ramadhan. Allah tidak hanya
memberikan pahalanya di bulan ramadhan. Lantas soal kuantitasnya, memang secara
formal ritual dalam beberapa hadits disebutkan pahala di bulan ramadhan
diberikan lebih.
Tetapi, apakah memang tidak bisa membuat
kolek dan ketupat yang lebih banyak lagi di luar bulan ramadhan. Apakah memang,
tidak mungkin membawa pahala yang lebih banyak lagi di luar bulan ramadhan.
Mungkin bukan? Dan tentu jawabannya, bisa! Bisa bukan? Tetapi kenapa? Ya …
karena kita malas! Sederhana, kita maunya cari untung dengan jalan gampang.
Ya, seperti itulah kita, yang seperti
dikatakan oleh Ibnu Sina. Sikap mental kita dalam beragama masih memiliki
mentalitas seperti mentalitas pedagang. Yaitu, sebuah sikap yang menunjukkan
bahwa motivasi melakukan sesuatu adalah demi memperoleh imbalan atau keuntungan
yang menyenangkan. Atau dengan kata lain, seseorang beribadah dengan alasan
untuk mendapatkan pahala di akhirat kelak.
Sehingga ketika bulan ramadhan
digelar, ibarat para pembeli yang melihat toko kerajaan langit sedang
mengadakan diskon dosa gede-gedean memberikan pahala sebesar-besarnya. Dengan
alasan Allah bermurah hati kita getol ibadah, padahal sebelumnya dan sesudahnya
Allah tetap murah hati dan pahala masih berlangsung.
Selain mentalitas pedagang, kita juga
masih mengendap mentalitas yang lain yaitu mentalitas budak atau buruh. Sebuah
sikap yang motivasi melakukan sesuatu itu karena takut kepada majikan. Sikap
ini menunjukkan bahwa alasan seseorang beribadah adalah karena dorongan rasa
takut siksa neraka. Sikap ini pada hakikatnya memperagakan sikap budak atau
buruh terhadap Tuhan. Ini paling parah!
Dan celakanya, ini adalah prinsip
ibadah kita selama bertahun-tahun bukan? Kita bukan melakukan ibadah tetapi
kerja dengan rasa takut dan mengharapkan upah!
Adapun yang ketiga adalah mentalitas
seorang arif. Sebuah sikap yang motivasi melakukan sesuatu itu karena kesadaran
yang sangat akan betapa besarnya anugerah dan jasa yang telah Tuhan limpahkan
kepada dirinya. Kesadaran yang sangat akan betapa bijaksananya Tuhan dalam
segala ketetapan dan perbuatan-Nya. Kesadaran terhadap semua ini, mendorong
seorang arif untuk beribadah dan melakukan berbagai aktivitasnya sebagai “balas
jasa”; bukan karena alasan pahala surga dan bukan pula karena takut siksa
neraka.
Karena kesadaran akan kebijaksanaan
Tuhan inilah, seorang arif yakin bahwa apa yang diperoleh dan di mana pun ia
ditempatkan kelak, hal tersebut adalah yang terbaik dalam pandangan Tuhan.
Seorang arif pun akan dengan sangat sadar meyakini bahwa dirinya sendirilah
yang akan merasakan manfaat langsung dari ibadah yang dilakukannya dan Tuhan
tidak sedikit pun memperoleh manfaat darinya. Menurut Quraish Shihab, motivasi
seorang arif inilah yang terbaik.
Tidak salah dengan “seorang pedagang”
yang melakukan ibadah karena alasan keuntungan/pahala di akhirat, karena Tuhan
adalah Dzat Maha Pemberi. Tidak salah pula “seorang budak” yang takut neraka,
karena Tuhan adalah Dzat yang harus disembah. Tapi, sangat beruntunglah “seorang
arif“ yang melakukan segala sesuatu atas dasar “balas jasa” dan rasa terima
kasih kepada Tuhan, meski ia sangat sadar bahwa Tuhan tidak membutuhkan semua
itu. Toh, manfaat semua aktivitas yang dilakukannya akan kembali kepada
dirinya. Bukankah Nabi Muhammad telah memberikan teladan terbaik dengan terus
beribadah meski Tuhan telah menjamin beliau untuk masuk surga-Nya. Bukankah
kita disadarkan untuk menjadikan Muhammad sebagai uswah hasanah?
* * *
* *
"Dunia belum berakhir"
begitulah menurut lirik lagu Shaden yang dahulu sempat ngetop. Rasanya ungkapan
itu tepat sekali untuk menggambarkan keadaan umat Islam kini ketika menghadapi
Idul Fitri. Sebenarnya ungkapan itu sangat bagus, senada dengan dzikrul maut
(mengingat mati). Menganggap dunia akan berakhir, itu kalau yang timbul adalah
kesadaran transendental dengan menyiapkan segala amal shaleh untuk bekal di
kehidupan nanti.
Tetapi, kalau sebaliknya yang pada
kenyataannya ketika mendekati hari-hari lebaran persiapan yang di rencanakan
bukanlah persiapan transendental melainkan material. Bagaimana orang-orang
dengan sangat sibuk menyiapkan segala sesuatunya hanya untuk menyambut satu
hari yang namanya lebaran. Baju baru, mendekor rumah dengan settingan baru.
Dengan dalih merayakan kemenangan? Hah?!?! Kemenangan dari apa? Apa yang telah
kita menangkan? Kalau dua hari sebelum lebaran tiba, mesjid-mesjid menjadi
kosong! Apa yang mesti kita rayakan kalau mall menjadi mesjid baru dan belanja
adalah ritual baru? Apa yang mesti kita rayakan? Kita merayakan kekalahan kita.
Pernahkah kita menanyakan lagi hal itu
kepada diri kita. Mungkin sudah, mungkin belum atau mungkin nggak perlu lagi.
Sadar tidak disadari, ternyata kita sudah terperangkap dalam pemahaman
keagamaan yang sangat formalistik, sehingga semua ritual hampa dan artifisial
belaka tanpa mendapatkan makna yang lebih dalam.
Ritual dipentingkan karena hal itu
adalah symbol-simbol tuntutan massa yang ujungnya bukan pendakian spiritual
melainkan citra bahkan menjadi komoditi. Kita sudah melupakan herofani-herofani
dalam hidup keseharian.
Dalam situasi pascamodern dewasa ini,
kondisi tersebut diratapi makin meradikal. Selain budaya akibat dari
konsumerisme yang menggerayangi umat Islam terkhusus ketika menjelang lebaran
tiba ditambah pamahaman terhadap agama yang semakin dangkal yang hanya
bersaifat superficial .
Ternyata hal yang vital dalam diri
kita yaitu iman terabaikan, tidak dirawat. Karena sudah dianggap beres. Iman,
dalam hal ini pemahaman keagamaan, yang mengambil bentuknya dalam sikap
keberagamaan sedang mengalami krisis. Keberimanan kita hanya bisa baru sampai
perut! Cangkang! Bersifat fisik, padahal jauh dalam tubuh iman kita menjerit
keropos! Iman kita sedang digerogoti oleh virus-virus yang tajam menyakitkan.
Emha mengatakan bahwa memang …kita
sudah bangun. Kita sudah bangkit bahkan kaki kita kita sudah berlari kesana
kemari. Namun akal pikiran kita belum, hati nurani kita belum…!! Kita masih
merupakan anak anak dari orde yang kita kutuk di mulut namun ajaran-ajaranya
kita biarkan hidup subur di dalam aliran darah dan jiwa kita. Kita mengutuk
perampok dengan cara mengincarnya untuk kita rampok balik. Kita mencerca maling
dengan penuh kedengkian kenapa bukan kita yang maling. Kita mencaci penguasa
lalim dengan berjuang keras untuk bisa menggantikanya. Kita membenci para
pembuat dosa dengan cara setan yakni melarangnya untuk insaf dan untuk
bertobat. Kita memperjuangkan gerakan anti penggusuran dengan cara menggusur.
Kita menolak pemusnahan dengan merancang pemusnahan-pemusnahan. Kita menghujat
para penindas dengan riang gembira sebagaimana iblis yakni kita halangi usahnya
untuk memperbaiki diri".
Bagaimana caranya membangkitkan hati
nurani? Bukan dengan baju baru, bukan dengan ketupat. Krisis seperti ini
ditengarai oleh Ali Maksum sebagai krisis spritualitas zaman modern.
Modernisme, akhirnya dirasakan membawa kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup.
Abad modern di Barat, yang dimulai sejak abad XVII, merupakan awal kemenangan
supremasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme dari dogmatisme agama.
Kenyataan ini dapat dipahami, karena abad modern Barat dibangun atas dasar
pemisahan antara ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh agama
(sekularisme). Kehilangan Visi Keilahian dan Kehampaan Spiritual.
* *
* * *
Pada hakikatnya ramadhan bukanlah hari
pelaksanaan perintah agama secara massal yang dengan lantas kemudian setelah
ramadhan selesai maka pelaksanaan perintahpun usai. Setelah idul fitri tak ada
apa-apa lagi. Tak ada lagi artis yang mau dekat-dekat dengan anak yatim, tak
ada lagi grup band yang menyenandungkan puja-puji, tak ada lagi yang mau
fidyah, infaq dan shadaqah, tak ada lagi yang mau membaca al quran, tak ada
lagi aktivitas religi, tak ada lagi … tak ada lagi….
Kalau begini kenyataannya ramadhan yang
telah kita lalui hanya sebatas EKSTASE SPIRITUALITAS PURBA! Sesajen massal yang
disiapkan karena kita takut, karena kita mau menjilat untuk mendapatkan nikmat
dengan cepat. Setelah ramadhan selesai kita bebas lagi mencaci maki, menghujat
kembali lagi secara biadab sebagaimana kita dahulu. Tak ada perubahan! Bukankah
kita selalu berteriak tentang perubahan?
Ramadhan seharusnya menjadi
perkuliahan yang sangat panjang untuk menyiapkan kerja nyata pada sebelas bulan
selanjutnya. Ramadhan menjadi usaha penggodoggan diri. Penggorokkan diri,
melumat seluruh kebiasaan keji kita.
Akhirnya, demi menggapai keberimanan
yang lebih otentik dan sublim (divine belief), simbol-simbol
diskursif-linguistik (yang menjelma dalam kata, kalimat, konsep, dan
seterusnya), serta kecenderungan emosional harus dicairkan dan divakumkan untuk
kemudian tenggelam dalam—istilah Kierkegaard—"samudra penghayatan
iman" (oceanic feeling). Samudra itu begitu sunyi mencekam dan sangat
personal. Tapal batasnya adalah ketika manusia mampu mengoyak—meminjam istilah
Max Weber—jejaring makna yang dia pintal sendiri.
Dengan begitu kita akan menjadi lebih
baik dan baik lagi. Karena dengan Idul Fitri dunia tidak terhenti, dengan
lebaran nafas tidak tertahan. Dunia belum berakhir, masih banyak agenda yang
mesti kita kerjakan. Hidup masih berkelanjutan, berkelangsungan. Karena
selamanya hari ini dan hari seterusnya adalah hari esok.
Ramadhan hanya menjadi jeda untuk kita
menghela. Tidak hanya sebatas mantra demagogi! Tanpa bukti. Bisakah? Entahlah...
Wallahu 'alam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungannya serta atas semua apresiasi yang telah diberikan.
Semoga kebaikan selalu menyertai kita semua.
Aamiin.