Salah satu peluang para kandidat—Capres
dan Cawapres pada Pilpres 2014—agar bisa menang, terletak pada momen kampanye,
selain pula “aksi gerilya” kasak-kusuk para tim suksesi yang sudah jauh-jauh
hari di lakukan sebelum masa kampanye berlangsung ataupun setelah masa kampanye
usai.
Dalam momen kampanye inilah para
kandidat, beserta rengrengan partai pendukungnya, secara sah bisa
memperkenalkan visi misinya kepada publik berikut diizinkan mempengaruhi, menarik
perhatian bahkan sampai “membius” hati masyarakat—misalnya, dengan membagikan
sembako gratis, kaos yang bergambar kandidat tertentu, nyanyi dan joget
bareng—agar memilihnya.
Sudah barang tentu aksi kampanye yang
dilakukan oleh pada kandidat itu mesti dalam koridor norma dan aturan yang
telah ditetapkan sebelumnya, kendati banyak disesalkan karena kampanye yang
dilakukan kurang memiliki nilai edukasi politik terhadap masyarakat awam dan
terkesan banal (dangkal) yang hanya berorientasi pada kemenangan sesaat.
Aksi favorit yang sering menjadi
pilihan utama para kandidat adalah memberikan janji-janji kesejahteran hidup
kepada masyarakat seperti bertekad akan memperjuangkan keadilan, memperbaiki
ekonomi, memberantas korupsi, pendidikan murah, penurunan tingkat kemiskinan
dan lain sebagainya.
Tak ada yang salah dengan janji-janji
kampanye yang mereka utarakan itu. Semuanya adalah kebaikan dan itikad baik
untuk mewujudkan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Namun persoalannya
adalah, siapa yang bisa menjamin bahwa janji-janji mereka adalah benar bukan
kebohongan publik semata? Siapa yang bisa memegang janji-janji mereka?
Tak ada yang bisa menjamin dan
memegangnya kecuali sang penutur itu sendiri. Memang lidah tak bertulang,
ucapan seseorang seperti belut yang licin, tak begitu saja bisa dipegang.
Kepercayaan dan bertumpuk-tumpuk harapan yang masyarakat berikan sewaktu
kampanye dan pemilihan manakala setelah terpilih bisa raib dan hilang dalam
sekejap mata. Selalu saja ada alasan atas semua janji-janji kampanye yang tak
urung terwujudkan, disertai permohonan maaf.
* * *
* *
Para kandidat Capres dan Cawapres yang
terhormat, berikut tim suksesinya—siapapun yang akhirnya terpilih nanti, ini juga
kalau anda-anda para kandidat masih memiliki kesadaran beragama—perlu Anda
ketahui bahwa mengingkari janji adalah salah satu ciri
dari orang munafik dan Allah telah menyediakan tempat bagi orang munafik di
kerak neraka. Tidak
ada niatan saya untuk menakut-nakuti Anda, tetapi begitulah yang sering
dikatakan para ustad bahwa Allah telah menyediakan tempat bagi orang-orang yang
sering mengingkari janji (munafik) di kerak neraka. Saya berharap anda-anda
tidak menjadi penghuni tempat itu.
Para kandidat Capres dan Cawapres yang
terhormat, perlu anda-anda ketahui, masyarakat kini sudah pintar maka jangan
anggap masyarakat buta politik. Mereka belajar politik dengan cara mereka
sendiri, bukan dari teori-teori atau utak-atik strategi melainkan, dari
teman-teman bapak terdahulu, yang telah mencalonkan diri jadi pimpinan mereka
namun melacurkan janji-janjinya.
Masyarakat kini sudah banyak belajar,
maka jangan aneh kalau sembako gratis, kaos gratis—dan lainnya yang serba
gratis—yang anda berikan sewaktu dulu kampanye tidak menggoyahkan hati
masyarakat untuk tetap golput atau tetap teguh pada pilihannya. Kini masyarakat
kecil juga “belajar mengingkari janji” karena anda-anda sendiri-lah yang
mengajarkan itu semua. Masyarakat sudah lelah, bosan, jengah bahkan muak dengan
kepercayaan yang dulu diberikan malah di salah gunakan.
Para kandidat Capres dan Cawapres yang
terhormat, sungguh janji-janji yang Anda utarakan di kampanye, baik media massa
atau elektronik, sangat baik (baik sekali) bagi kesejahteraan masyarakat.
Tetapi lebih baik lagi kalau Anda bisa menepati janji-janji itu. Semoga saja
yang terpilih nanti diberi kesadaran untuk tetap menepati janji-janji yang
diutarakan itu. Sekian.
Wallahu a’lam bis showab.
Dariku,
terkadang lupa atau sengaja melanggar janji yg telah mereka ucapkan
BalasHapus