Oke,,,kembali lagi ke hurup F.
Jadi begini kalau Kang Haji gambarkan yang
bikin Kang Haji keuheul teh : Hurup F itu jelas
sekali digunakan dalam kata-kata serapan dari bahasa asing. Let say,,Barat.
Jadi apapun yang datang dari 'BARAT' itu Cool, keren, hebat, apapun !!! So,
kalau sesuatu itu datang dari sana, kita harus mengikuti seperti yang mereka
ucapkan or lakukan.
Hal tersebut terjadi secara Subconcius, karena
inferioritas inilah, maka orang yang tidak bisa melafalkan hurup F inilah yang
menonjol, karena budaya baratlah yang ditentangnya.
Lanjut,,,
Barat atau budaya asing, sedang GDB itu berasal
dari kosakatanya sendiri yang 'rendah'. Nah, sekarang Trend/cool setter
itu adalah film-film barat dan film-film lokal/sinetron.
Dalam film-film lokal, nampak
ketundukan/inferioritas orang-orang pribumi dengan budaya barat. Sering sekali
dipertontonkan kalau orang pribumi itu berbudaya rendah dan patut ditertawakan
sedangkan barat itu tinggi. Dan disisi lain, film juga yang membuat trend/cool
thing dimasyarakat kita dan menjadikan trend/gaul bahasa indonesia yang
berdialek jakarta. Dan pembaca sendiri tahu, bagaimana hegemoni media terhadap
masyarakat. So, maka seantero indonesia kebanyakannya apalagi generasi muda
menganggap yang bertentangan dengan trend itu 'norak' atau 'kampungan'.
Singkatnya,,,masyarakat menganggap yang ada di
tv /film/sinetron itu gaul, walaupun kebanyakan terjadi dalam bawah sadar. Dan
dalam kasus ini, bahasa yang digunakan adalah bahasa indonesia yang berdialek
jakarta yang kadang pelafalan hurup
GDB-nya berbeda, padahal seperti yang Kang Haji bilang
berkali-kali, hurup-hurup itu ada didalam kosakata
asli bahasa indonesia. Tidak seperti hurup F.
Makanya tidak heran, bila Anda ngobrol dengan
orang Padang, Aceh, kalimantan, dan lainnya, khususnya anak muda, kebanyakan
dari mereka pasti berbicara dengan bahasa indonesia yang berdialek jakarta
karena massive-nya media yang sudah menjadi culture/trend setter. Makanya dalam
kasus ini, ketika ada orang yang berbicara tidak menggunakan bahasa indonesia
yang berdialek jakarta seakan ketinggalan jaman, kuper, norak atau kampungan.
Selain itu, hirarki kembali berlaku karena
jakarta adalah kota metropolitan, maka apapun yang datang dari sana (culture)
itu besar yang kemudian dianggap benar. Makanya tidak heran kalau si Dodon yang
berasal dari Kemang tidak ditertawakan ketika salah melafalkan hurup GDB,
sangat jauh berbeda dengan si Asep yang berasal dari Sukabumi ketika
salah melafalkan hurup F.
Karena,,eh,,karena si Dodon mempresentasikan
superioritas kultur yang ada di Tv dan dia representator orang kota besar.
Sedang si Asep mah representasi orang kampung atuh, yang dibawakannya pun pasti
kampungan walaupun benar-benar rasional.
Itulah letak keanehan orang-orang modern itu (walaupun Kang Haji mah teu aneh-aneh teuing da apal sababna), yang mengaku pluralis,
liberalis tapi W***K !!!. Kalau memang modernitas itu sinonim dengan
pluralisme, lalu kenapa mentertawakan perbedaan yang sedikit itu ???.
Hal yang wajar kalau ada orang batak yang
menggunakan bahasa indonesia dengan dialek batak, orang jawa dengan dialek
jawa, orang sunda dengan dialek sundanya yang Khas, orang mana-manapun dengan
dialeknya. Terus kalau lagi ngomong bahasa inggris pake dialek suku-nya
sendiri, ya,,ora opo-opo !!! Kang Haji juga bisa ngomong bahasa inggris dengan
dialek or aksen negro USA abiisss. Hahaha.... Tapi kalau ada orang
yang ngomong bahasa inggris dengan dialek bahasnya sendiri, itu sich wajar
selama bisa dimengerti. Iya nggak ???
Hal yang sederhana itu bisa menjelaskan patologi
masyarakat, sebenarnya hal tersebut cerminan, seperti uangkapan pakar psikolog; "Bangsa
terjajah itu, cenderung menganggap budaya bangsa penjajah lebih superior".
". Wow,,,!!! Terbayang efeknya ya !! Kita sudah dijajah
ratusan tahun hingga sekarang oleh barat.
Sedikit info : kalau ada orang
jawa ngomong bahasa indonesia dengan aksen atau dialek jawa atau dengan logat
jawanya, sepertinya kita sudah terbiasa ya !! Tidak terdengar menggelikan atau
mencolok selama tidak jowo abisss. Tapi ketika ada orang sunda yang ngomong
bahasa indonesia dengan sedikit kedengaran dialek atau aksen sunda-nya yang
khas, itu terdengar mencolok pada telinga atau kita tak terbiasa. Itulah bukti
terjajahnya budaya sunda oleh budaya jawa.
Sepertinya kalau kita pergi ke jakarta, Anda
bilang sama kasir toko, terima kasih mbak, terima kasih mas, bukan terima kasih
Neng atau Jang atau Kang. Padahal letak jakarta itu di Jawa Barat.
Mangga dijantenkeun bahan emutan.
Silakan dijadikan bahan renungan.
Artikel ini bukan ditujukan untuk siapapun, tapi
untuk diri saya pribadi guna mempertebal kebanggaan terhadap budaya sendiri
tanpa mencela budaya lain, tapi saling menghargai dan menjadikan perbedaan
budaya sebagai rahmat serta kekayaan budaya bangsa Indonesia yang tercinta.
Ingatlah pengikat kita "BHINEKA TUNGGAL IKA".
T A M A T
Tulisan ini pernah
dimuat dulu di akun pesbuk Kang Haji (klik disini) dan grup pesbuk Kang Haji (klik disini)
haha,,,kang haji emang Finterrrr,,,,:D
BalasHapushahaha,,,,kang harry bisa aja !!!
HapusMakasih dah mau singgah, kang harry... :)