Total Tayangan Halaman

" Mengenai Urang Sunda dan Hurup F " .Bag-2



Oke,,,kembali lagi ke hurup F.

Jadi begini kalau Kang Haji gambarkan yang bikin Kang Haji keuheul teh : Hurup F itu jelas sekali digunakan dalam kata-kata serapan dari bahasa asing. Let say,,Barat. Jadi apapun yang datang dari 'BARAT' itu Cool, keren, hebat, apapun !!! So, kalau sesuatu itu datang dari sana, kita harus mengikuti seperti yang mereka ucapkan or lakukan.

Hal tersebut terjadi secara Subconcius, karena inferioritas inilah, maka orang yang tidak bisa melafalkan hurup F inilah yang menonjol, karena budaya baratlah yang ditentangnya. 

Lanjut,,,
Barat atau budaya asing, sedang GDB itu berasal dari kosakatanya sendiri yang 'rendah'. Nah, sekarang Trend/cool setter itu adalah film-film barat dan film-film lokal/sinetron.

Dalam film-film lokal, nampak ketundukan/inferioritas orang-orang pribumi dengan budaya barat. Sering sekali dipertontonkan kalau orang pribumi itu berbudaya rendah dan patut ditertawakan sedangkan barat itu tinggi. Dan disisi lain, film juga yang membuat trend/cool thing dimasyarakat kita dan menjadikan trend/gaul bahasa indonesia yang berdialek jakarta. Dan pembaca sendiri tahu, bagaimana hegemoni media terhadap masyarakat. So, maka seantero indonesia kebanyakannya apalagi generasi muda menganggap yang bertentangan dengan trend itu 'norak' atau 'kampungan'.

Singkatnya,,,masyarakat menganggap yang ada di tv /film/sinetron itu gaul, walaupun kebanyakan terjadi dalam bawah sadar. Dan dalam kasus ini, bahasa yang digunakan adalah bahasa indonesia yang berdialek jakarta yang kadang pelafalan hurup GDB-nya berbeda, padahal seperti yang Kang Haji bilang berkali-kali, hurup-hurup itu ada didalam kosakata asli bahasa indonesia. Tidak seperti hurup F.

Makanya tidak heran, bila Anda ngobrol dengan orang Padang, Aceh, kalimantan, dan lainnya, khususnya anak muda, kebanyakan dari mereka pasti berbicara dengan bahasa indonesia yang berdialek jakarta karena massive-nya media yang sudah menjadi culture/trend setter. Makanya dalam kasus ini, ketika ada orang yang berbicara tidak menggunakan bahasa indonesia yang berdialek jakarta seakan ketinggalan jaman, kuper, norak atau kampungan.

Selain itu, hirarki kembali berlaku karena jakarta adalah kota metropolitan, maka apapun yang datang dari sana (culture) itu besar yang kemudian dianggap benar. Makanya tidak heran kalau si Dodon yang berasal dari Kemang tidak ditertawakan ketika salah melafalkan hurup GDB, sangat jauh berbeda dengan si Asep yang berasal dari Sukabumi ketika salah melafalkan hurup F.

Karena,,eh,,karena si Dodon mempresentasikan superioritas kultur yang ada di Tv dan dia representator orang kota besar. Sedang si Asep mah representasi orang kampung atuh, yang dibawakannya pun pasti kampungan walaupun benar-benar rasional.

Itulah letak keanehan orang-orang modern itu (walaupun Kang Haji mah teu aneh-aneh teuing da apal sababna), yang mengaku pluralis, liberalis tapi W***K !!!. Kalau memang modernitas itu sinonim dengan pluralisme, lalu kenapa mentertawakan perbedaan yang sedikit itu ???.

Hal yang wajar kalau ada orang batak yang menggunakan bahasa indonesia dengan dialek batak, orang jawa dengan dialek jawa, orang sunda dengan dialek sundanya yang Khas, orang mana-manapun dengan dialeknya. Terus kalau lagi ngomong bahasa inggris pake dialek suku-nya sendiri, ya,,ora opo-opo !!! Kang Haji juga bisa ngomong bahasa inggris dengan dialek or aksen negro USA abiisss. Hahaha.... Tapi kalau ada orang yang ngomong bahasa inggris dengan dialek bahasnya sendiri, itu sich wajar selama bisa dimengerti. Iya nggak ???

Hal yang sederhana itu bisa menjelaskan patologi masyarakat, sebenarnya hal tersebut cerminan, seperti uangkapan pakar psikolog"Bangsa terjajah itu, cenderung menganggap budaya bangsa penjajah lebih superior".

". Wow,,,!!! Terbayang efeknya ya !! Kita sudah dijajah ratusan tahun hingga sekarang oleh barat.

Sedikit info : kalau ada orang jawa ngomong bahasa indonesia dengan aksen atau dialek jawa atau dengan logat jawanya, sepertinya kita sudah terbiasa ya !! Tidak terdengar menggelikan atau mencolok selama tidak jowo abisss. Tapi ketika ada orang sunda yang ngomong bahasa indonesia dengan sedikit kedengaran dialek atau aksen sunda-nya yang khas, itu terdengar mencolok pada telinga atau kita tak terbiasa. Itulah bukti terjajahnya budaya sunda oleh budaya jawa.

Sepertinya kalau kita pergi ke jakarta, Anda bilang sama kasir toko, terima kasih mbak, terima kasih mas, bukan terima kasih Neng atau Jang atau Kang. Padahal letak jakarta itu di Jawa Barat.

Mangga dijantenkeun bahan emutan.
Silakan dijadikan bahan renungan.


Artikel ini bukan ditujukan untuk siapapun, tapi untuk diri saya pribadi guna mempertebal kebanggaan terhadap budaya sendiri tanpa mencela budaya lain, tapi saling menghargai dan menjadikan perbedaan budaya sebagai rahmat serta kekayaan budaya bangsa Indonesia yang tercinta. Ingatlah pengikat kita "BHINEKA TUNGGAL IKA".

T A M A T


Tulisan ini pernah dimuat dulu di akun pesbuk Kang Haji (klik disini) dan grup pesbuk Kang Haji (klik disini)




2 komentar:

Terima kasih atas kunjungannya serta atas semua apresiasi yang telah diberikan.
Semoga kebaikan selalu menyertai kita semua.
Aamiin.