Tentu
saja kita harus selalu mensyukuri atas segala karunia yang telah di berikan
Tuhan dalam hidup ini. Sekecil apapun itu pemberian, dalam segala helaan nafas,
sudah sepantasnyalah kita memanjatkan puji dan syukur. Atas keagungan Tuhan. Sang Maha pencipta. Maha Segalanya.
Namun
kemudian, kita sebagai manusia yang diciptakan dengan nafsu terkadang entah
karena alasan apa, rasa syukur yang seyogyanya mesti selalu tertanam dalam
pikiran dan hati kita, suka mendadak hilang. Kita dibangunkan oleh sebuah
kesadaran bahwa apa yang kita dapatkan ternyata belum cukup, kenyataan hidup
meminta lebih dari apa yang telah kita dapatkan kini. Yang kita dapatkan hanya
sepuluh ribu, ternyata pengeluaran sudah melebihi itu.
Dan
di atas segala penerimaan berkah dan karunia yang telah di berikan, di atas
segala kekurangan akan kebutuhan hidup, di atas segala sesuatunya, cerita ini
di tuturkan.
*****
/a/
Pagi
ini sama sekali tidak kelihatan istimewa baginya, seperti pagi-pagi sebelumnya,
dia bisa bangun pagi tanpa ada hambatan sama sekali. Ketika bangun pun, tak ada
yang berubah baik dari lingkungan di sekeliling kamarnya, tanpa selimut atau
bed cover. Hanya sarung lusuh yang ia gunakan sebagai pelindung dari nyamuk
juga dari dinginnya malam. Lemari kotak yang sedikit lapuk dimakan usia yang
terbuat dari olahan serbuk kayu, dimana dipintu depannya tergantung cermin yang
sengaja ia pasang, masih berdiri tegak di sana, di sudut kamarnya yang sempit.
Dia
masih tetap seperti itu, tidak ada perubahan pada dirinya, berwajah desa dan
lugu, namun memiliki gigi yang rapi, serta putih, hanya saja keputihan giginya
itu tidak menguntungkan dirinya, karena berbanding terbalik dengan wajahnya
yang memiliki gradasi warna menuju hitam. Rambutnya lurus, tipis, lagi-lagi
berawarna hitam pudar. Perawakannya tinggi kurus, setiap kali memakai baju,
kecuali jaket motor atau jas hujan, tulang lehernya selalu kelihatan. Apalagi
kalau memakai celana pendek selutut dan kaos berwarna kuning pemberian dari
salah satu parpol ketika pemilu dulu. Dari jarak sepuluh kilo saja sudah pasti bisa
dikenali bahwa itu dia, Sumarna, Si Penjaga Villa Willasa Inn sekaligus
operator Warnet 99 milik Haji Nonoh.
Marna,
begitu panggilannya, mulai bangkit dari tempat tidurnya yang digelar begitu
saja diatas keramik beralaskan tikar tanpa ranjang. Menggerak-gerakan badan,
lantas kemudian berjalan keluar kamar menuju WC. Mengambil air wudhu hendak
sholat. Karena semenjak kecil dia tidak tahu apalagi yang mesti di
lakukan pada pagi hari selain sholat.
“apa
jadinya kalau orang tidak pernah melakukan sholat?” tanya Kardi tukang ojek sewaktu
mampir sore hari untuk sekedar nongkrong di warnet yang bangunannya berada
tepat didepan Villa. Waktu itu ada empat orang yang sedang berkumpul, setiap
orang langsung menyampaikan opininya masing-masing.
“ya
nda apa-apa toh, Kang? Mereka tetap hidup seperti biasa” ungkap Moko menyampaikan
pendapatnya dengan logat jawanya yang kental.
“lha
wong, hampir sembilan puluh sembilan persen orang yang hidup di dunia ini tidak
sholat, tapi mereka masih hidup”
“ngawur,
kamu?!” timpal Kardi berang,
“tahu
dari mana kamu bahwa hampir sembilan puluh sembilan persen orang yang hidup di
dunia ini masih hidup sekalipun tidak sholat?”
“lha
kamu buktinya, hahaha…” jawab Moko sembari tertawa.
Semua
tertawa. Kecuali Kardi. Dalam hati, Marna mengulangi pertanyaan Kang Kardi
tadi, “bagaimana jadinya ya?”
“ya
mungkin kalau orang itu tidak pernah melakukan sholat, seharusnya dia pergi ke
gereja, ke kleteng, atau vihara, karena setiap orang itu mesti sembahyang,
bagaimanapun keadaannya” jawab Marna enteng.
Setelah
beres sholat, ia kembali duduk diatas tempat tidurnya menghadap ke jendela.
Larut dalam lamunan. Sesaat kemudian, sekitar jam setengah enam, satu orang
temannya yang ada di kamar paling ujung yakni Didin bangun. Bersamaan dengan
itu, Moko datang lewat pintu gerbang.
Marna
lantas keluar dari kamarnya, hanya sekedar memastikan bahwa yang datang dari
pintu gerbang itu adalah memang Moko, sementara Didin baru ke kamar mandi, cuci
muka, kencing dan tidak sholat. Moko lantas masuk ke dapur, menyeduh kopi.
Setelah melihat Moko masuk ke dapur, Marna melanjutkan duduknya di ruang
pavilliun, menghadap ke pintu gerbang. Tak lama kemudian, Moko pun datang
membawa dua gelas kopi, dan duduk di kursi yang masih kosong. Marna
mengeluarkan sebungkus roko. Tak lama berselang Didin hadir, bergabung.
*****
/b/
Didin,
Moko, dan Marna, mereka bertiga adalah penjaga Villa Willasa Inn milik HajiNonoh. Siapa Haji Nonoh? Sebutlah dia adalah seorang pengusaha Sunda yang kaya
raya. Villa yang kini di jaga oleh Marna sebenarnya adalah rumah ke sekian dari
daftar rumah Haji Nonoh yang tidak di huni, kemudian disewakan sebagai Villa.
(Anda jangan heran, ini bukanlah sebuah khayalan, bukan sebuah cerita rekaan,
di luar sana memang benar banyak orang seperti Haji Nonoh. Bahkan lebih).
Sementara Haji Nonoh sendiri menetap di Jakarta. Sesekali ia juga sering
berkunjung ke Villa yang di jaga oleh Marna, bahkan menginap di sana beberapa
hari.
Marna
di gaji untuk menempati, merawat dan mengurus, juga melayani penyewa yang
datang ke Villa juga melayani pengguna warnet yang sesekali datang. Tapi hanya Marna
dan Didin yang menetap di Villa. Sementara Moko, tidak. Karena ia sudah
berkeluarga dan rumahnya tidak jauh dari Villa. Moko hanya datang di pagi hari
saja selepas itu berangkat bekerja di tempat lain.
“wah,
Mar..” ungkap Moko suatu ketika kepada Marna,
“kalau
hanya mengandalkan gaji dari Villa ini saja tidak cukup, mungkin cukup untuk
makan sendiri, tapi tidak cukup untuk memberi makan orang lain”
Memang
benar apa yang di katakan Moko, semua orang di kasih gaji rata oleh Haji Nonoh,
lima ratus ribu sebulan. Bagi Didin sama Marna, kebutuhan hidup mungkin belum
begitu terasa. Tapi bagi Moko itu seperti mencekik urat leher, makanya ia cari
sambilan di luar. Setelah berkeluarga, Moko mengundurkan diri dari penjaga
Villa milik Haji Nonoh. Tapi Haji Nonoh merasa keberatan. Karena ia tidak punya
orang kepercayaan lain lagi untuk menjaga rumahnya.
“gini
saja” kata Haji Nonoh ketika mendengar pengajuan pengunduran diri Moko,
“Moko,
kamu gak usahlah mengundurkan diri, kamu cari dua orang lagi yang bisa menunggu
Villa ini. sementara kamu, tetap saya gaji. Buat mengawasi mereka berdua. Kamu
juga gak punya kewajiban buat tidur disini, biarlah yang baru yang tidur
disini. Tapi sebelum kamu dapat dua orang itu, kamu masih harus tidur di Villa
ini, gimana?”
Moko
akhirnya sepakat dengan penawaran Haji Nonoh. Ia pun mencari dua orang yang mau
menggantikannya. Namun ternyata susah juga mencari orang untuk menggantikannya,
karena setelah dua bulan berjalan, Moko belum menemukan orang yang mau menerima
pekerjaan itu. Dan seperti kesepakatan di awal, selama dua bulan itu,
terpaksa Moko masih tetap tidur di Villa.
Sementara
Iis, istrinya Moko, terus mendesak.
“sudahlah
Kang, keluar aja. Biarin aja Haji Nonoh itu nyari sendiri. Daripada kaya gini
terus, penghasilan gak seberapa tapi menyita waktu” tutur Iis, istrinya. Tapi Moko
tidak berpendapat demikian, selain karena merasa berhutang budi kepada HajiNonoh, Moko juga melihat ada keuntungan yang di tawarkan oleh bosnya itu, yang
sayang kalau dia sia-siakan.
“Hanya
sebatas mengontrol, tidak perlu repot-repot” gumamnya, “tapi dari mana cari
orangnya?” Moko kembali bingung.
Di
bulan ketiga, pencariannya Moko berakhir. Pepatah mengatakan, kalau sudah jodoh
emang gak bakalan pergi kemana. Setelah mencari orang kesana-kemari, dia
akhirnya menemukan penggantinya Marna dan Didin, yang didapatkan setelah
beberapa kali memasang iklan di salah satu jejaring sosial bernama Facebook.
Semenjak itulah Marna dan Didin dipertemukan dengan takdir, menjadi penjaga
Villa Willasa Inn dan Warnet99 milik Haji Nonoh.
bersambung....
*****
wehh menarik ceritanya, pake bersambung segala bikin penasaran.
BalasHapusMakasih, Kang Dirga.
HapusSebetulnya waktu kemarin bikin belum beres semua, makanya dibikin bersambung dulu,,,
Hehehe,,,
tapi sekarang mah dah beres kok...lanjutkan bacanya ya, biar gak gantung,,,,