Kebenaran itu sendiri, tak berkata,
melalui kata-kata
Televisi sebagai Souvenir Dari Abad
21, inilah yang yang pernah menjadi materi di salah satu stasiun TV dan diulas
dengan detail dari mulai awal pembuatan TV yang hitam putih sampai berwarna.
Dari materi yang sangat sederhana sampai acara yang penuh dengan ideology,
sesak dengan doktrinasi, menjejal di kepala sehingga kita hanya akan bisa
ternganga semamput dibuatnya. Dari Film Charlie Chaplin yang bisu dan hitam
putih, yang Kang Haji sendiri tidak mengetahui kapan dibuatnya, sampai film Fast
and Furious 6 yang sampai saat sekarang belum pernah Kang Haji tonton.
TV sebagai salah satu ikon kemajuan
sains dan teknologi. TV pula kadang kala dijadikan salah satu standard
kemodernan. Pun kita sering mendengar mengenai isu TV ini, yang sedikit banyak
menguraikan mengenai kejelekannya atau sisi negatif dari TV, dan jarang untuk
menghindari kata tanpa, mengulas mengenai sisi positif dari keberadaan TV ini.
Ataukah memang betul adanya bahawa dari ‘diri’ hanya terdapat kejelekannya
saja.
Singkat kata TV itu nggak baik.
Kenapa kita tidak melihat TV
sebagaimana adanya TV itu sendiri, tanpa melakukan pra konsepsi terlebih
dahulu. Pertama, kita melihat TV sebagai media, hanya media saja, tanpa ada
kecurigaan dan ketakutan yang selama ini kita khawatirkan. Seperti takut adik
kecil kita terbawa oleh pengaruh TV, pokoknya TV sebagai media layaknya
media-media lain dalam menyampaikan pesannya.
Kedua, TV sebagai ruang publik, sebagaimana
sifatnya media adalah milik umum, maka TV menjadi ruang publik yang siapapun
boleh memasukinya dari agama, kelompok, ras, suku manapun boleh ikut nimbrung.
Ketiga, TV sebagai media penyampai
pesan, media pastinya mempunyai pesan yang ingin disampaikan kepada khalayak
ramai, mulai dari tips atau cakepan sampai doktrin ideology, entah ideology
apapun itu.
Keempat, TV sebagai lahan pekerjaan,
kita tak bisa menafikan peran TV dalam kehidupan kita salah satunya berapa
banyak saudara, teman atau kerabat kita yang mempunyai pekerjaan yang erat
kaitannya dengan TV ini. Singkatnya, dengan perkataan ekstrim, TV bisa
menghidupi.
Kelima, TV sebagai alat penghibur,
untuk point yang terakhir ini semua orang pasti sepakat, nggak perlu ada
penjelasan lebih lanjut.
Sebenarnya, sejauh pengetahuan Kang
Haji nggak ada teori khusus mengenai TV ini (atau Kang Hajinya aja yang nggak
tahu), terlepas dari itu semua maka pembicaraan mengenai TV ini akan lebih
bersifat cakepan aja yang tidak bisa dilepaskan dari pengalaman subjektif Kang
Haji mengenai TV. Lalu, setelah mengurai perihal sisi positif dari TV maka
untuk lebih komplit kajian kita mari kita bahas satu persatu yang menjadi sisi
negatif dari TV.
Pada hakikatnya, segala sesuatu itu
baik adanya tergantung siapa pemakainya, pendek kata, karena penyalahgunaan
oranglah maka nilai akan berbeda, bisa baik dan buruk. Pertama setelah diungkap
tadi mengenai TV sebagai penyampai pesan maka lalu ada perembesan ideology yang
secara sengaja diselipkan oleh kreatornya (lebih lanjut mengenai hal ini nanti
kita akan bahas di perihal tontonan). Kedua, adanya pergeseran budaya; salah
satunya adalah gaya hidup , way of life (cara pandang dunia) Lho? Cara pandang
yang kaya gimana sih? Budaya santai yang nyantai, cara beragama .
Kalau begitu kita harus bagaimana
dong? Buat TV baru, tandingan? Berabe. Umat Islam udah jauh ketinggalan nggak
bakalan kekejar (bukan berarti pesimis). Buat acara tandingan? Nggak bakalan
kuat sebab lawannya terlalu banyak, buat satu aja acara udah ngos-ngosan.
Matikan TV? Wah masih banyak yang nyalainnya ketimbang yang mematikan lagian
kita juga masih butuh. Selektif nonton acara TV? Mungkin tapi kalau udah pegang
remote kayaknya nempel terus. Kurangi porsi nonton TV? Mungkin dan kayaknya
aman juga tapi…oh ya kitanya aja yang nyadar. Nyadar akan apa? Akan bahayanya
TV. Lho ‘kan TV nggak gitu-gitu banget. Hemat Kang Haji, yang paling harus
diawasi adalah tontonannya, dalam bahasa sekarang acara yang disuguhkan oleh TV
itu. Emang bahaya pisan? Ya berbahaya bahkan kalau terus diulang-ulang akan
mengendap dalam memori kita sehingga hal itu dianggap sebagai kebenaran
padahal. Tidak.
Nah, kita kita sudah mengambil titik
temu, benang merah, yang mesti kita bicarakan. Sebab kalaupun kita mau membahas
mengenai tetek bengek mengenai TV wah jauh banget. Sebab hal itu nggak bakalan
kesampaian sebab kita bukan ‘orangnya’ yang tepat (bukan mau bermaksud
berapologi). Kita akan membahas mengenai TV dari sisi penonton aja dari sisi
subjeknya.
Konsep tontonan mencakup berbagai
aspek antara lain: kebebasan, rangkaian upacara dan kesadaran lingkungan.
Kebebasan bukan berarti tanpa aturan tetapi keluwesan untuk mempergunakan atau
melanggar aturan. Rangkaian upacara menyebabkan penampilan bukan lagi sekedar
pertunjukan tetapi peristiwa. Sedangkan kesadaran lingkungan menjadi akrab dan
relevan.
Ketiga aspek ini luruh dalam
perenungan. Peranan tontonan di dalam kehidupan jelas. Ia membuka kesempatan
kepada banyak orang untuk mengalami hal-ha, yang mungkin tidak sempat
dialaminya dalam kenyataan. Ia membuka kesempatan untuk mempersingkat waktu
untuk mengalami beberapa peristiwa, dalam satu paket. Ia juga seperti menyeret
manusia untuk keluar dari dinding-dinding rumahnya, untuk mengalami
perkembangan batin bersama orang lain. Ada tontonan yang jenaka, ada yang
menggangu, menghasut dengan berbagai pertanyaan dan masalah, ada yang memberi
wejangan dan petuah, ada yang dakwah, ada yang mencoba menguras air mata,
kemarahan kebencian, dan sebagainya.
Berbagai arus tersebut menunjukan,
penonton di samping berbeda kepala dan perasaan, berbeda pula kepentingannya.
Makin beragam jenis tontonan yang muncul, makin banyak nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat. Dan makin banyak seorang penonton dapat menerima arus-arus
tersebut, makin terbukalah cara berpikirnya. Hal ini memberikan kesimpulan
bahwa tontonan yang sedang berkembang, adalah potret batin masyarakatnya dengan
tidak bermaksud untuk mengeneralisir. Barangkali boleh dikatakan, menilai
keadaan masyarakat, cukup dengan meneliti seni tontonannya. Pada akhirnya juga
mewakili hasrat masyarakat. Impian, kenyataan yang sedang berjalan, atau masa
lalu yang masih tetap hidup. Tontonan adalah bagia dari kenyataan hidup.
Sebuah tontonan adalah sebuah pesona
yang mengandung rencana. Ia memiliki latar belakang, tema, isi, arah
kecenderungan, sasaran, cita-cita, bentuk, komposisi, dialog,
persiapan-persiapan. Tontonan adalah sebuah kreasi manusia yang tercipta baik
dengan kesadaran atau bawah sadar kreator. Tontonan adalah sebuah alat ekspresi
untuk melancarkan kritik dan protes, melontarkan buah pikiran, gagasan,
renungan, perasaaan-perasaan manusia perorangan atau kelompok manusia.
Sebuah tontonan yang disuguhkan oleh
TV tidak lepas dari konsepsi yang telah disebutkan diatas bahwa tontonan adalah
hasil kreasi manusia yang menjadi satu keniscayaan memiliki format dan bingkai
tertentu, entah itu dari sebuah ideology atau falsafah hidup sang kreator. Maka
dari itu asal formatnya dikuasai, ia merupakan sarana pembebasandan kemerdekaan
yang tak terbatas untuk menembakkan apa saja yang mungkin dilakukan di negeri
tirai besi sekalipun.
Dahulu sebelum menjamur industri
pertelevisian tontonan sering disajikan dalam bentuk longser kemudian
berkembang menjadi teater dan setelah memasuki duni TV longser dan teater ini
berubah menjadi Film. Sekarang ada berbagai macam varian dalam acara TV dari
mulai Quiz, Reality Show, Sinetron (religius), Entertainment, News, Musik yang
mesti kita Kritisi. Untuk menutup pembicaraan mengenai TV ini akan ditutup
dengan sebuah cerita, sebagai cakepan dalam menguasai format sang kreator.
* *
* * *
Sambil
mengepit bungkusan, dengan hati-hati Shie Nyha Yii bersungut-sungut memasuki
kamar praktik dr. Ash Lee Soon
“Wah, kawan muda saya!” dokter itu
menyambutnya. “Apa kabar? Baik-baik saja bukan?”
Shie Nyha Yii mengedipkan matanya,
meletakkan tangannya pada dada dan dengan suara bergetar penuh emosi ia
berkata,
“ibu titipkan salam, dok. Dan saya
disuruh menyampaikan rasa terimakasihnya…saya anak tunggal ibu dan dokter telah
menyelamatkan nyawa saya mengobati saya dari penyakit yang berbahaya…ibu dan
saya sebenarnya tidak tahu harus berterimakasih kepada dokter”.
“Sudahlah, nak,” potong dokter itu,
tesenyum gembira.
“ Siapapun akan berbuat serupa dalam
keadaan demikian”.
“Saya, tentu saja tak mampu membayar
ongkos pengobatan dokter…dan kami merasa sangat tidak enak memikirkan hal itu,
dok. Tapi biar bagaimanapun, kami-ibu dan saya- sudilah menerima ini sebagai
sekedar imbalan bagi budi baik dokter…barang ini, yang…ini sungguh patung
perunggu yang amat berharga. Betul-betul berharga”.
“Tidak, sungguh.” Kata dokter itu
mengerutkan dahi.
“ Tak mungkin aku harus menerimanya”.
“ Ya ya dokter harus menerimanya,”
Shie Nyha Yii bersungut-sungut
sementara ia membuka bungkusan itu.
“ Kalau dokter menolak kami sangat
terhina…ini sunguh barang yang indah…sebuah patung perunggu yang indah”.
Selesai membuka bungkusan itu Shie
Nyha Yii dengan bangga menaruhnya diatas meja. Ia berkata;
“tapi alangkah sayangnya barang ini
tidak punya pasangannya!”
Setelah lama memperhatikan kehadiran
tempat lilin yang berpatung dua gadis telanjang itu, dokter itu perlahan-lahan
menggaruk bagian belakang telinganya, menelan air liur dan mendengus dengan
kacau.
“ Ya memang betul-betul indah” ia
bergumam.
“ tapi yah bagaimana pula aku harus
menyimpanya…? Bagaimanapun orang tak bisa sepenuhnya menganggap ini sebagai
barang yang menimbulkan selera. Maksudku sesuatu yang telanjang, namun ini
sudah benar-benar keterlaluan…mmm”
Sesudah Shie Nyha Yii pulang, kembali
ia menggaruk-garuk telinganya dan menimbang-nimbangnya. “benda seni yang luar
biasa, tiada duanya” pikirnya “ dan memalukan untuk membiarkanya begitu
saja…tapi bagaimana mungkin aku memajangnya disana…hmm, betul-betul sulit, lalu
akan kuberikan atau kutitipkan kepada siapa?”
Setelah lama menimbang-nimbang sang
dokter itu pun teringat kepada seorang kawan kentalnya Peu Nyha Muon, seorang
ahli hukum. Ia merasa berhutang budi atas pelayanannya yang professional itu.
Tanpa pikir panjang lagi dokter itu kemudian mengenakan mantelnya, mengambil
tempat lilin dan berangkat ke rumah Peu nyha Muon. Tatkala ahli hukum itu
melihat benda kecil itu ia sangat bergembira.
Namun setelah cape menyatakan
kegembiraanya ahli hukum itu memandang dengan gelisah ke arah pintu dan berkata
“ hanya saja tolong berbuat baik sedikit kepadaku dan bawalah beda ini kembali,
tak keberatan bukan? Aku tak dapat menerimanya…”. Tapi dokter itu menolak
dengan menggerak-gerakan tangannya dengan cepat, lalu dengan gesit menyelinap
keluar dari apartemen itu dan terus pulang. Bersyukur sekali ia telah berhasil
melepaskan barang itu dari tangannya…
[Silakan
lanjutkan sendiri……..hehehe….. ]
…….
…….
…….
…….
…….
Saya baca tulisannya blm rampung semua pak..
BalasHapusNanti ta lanjut..
Salam.. :)
Silakan Mas budi, sampai tamat lho..
HapusUdah rampung kok !! hanya cerita penutupnya saja yang Kang Haji gantung, biar Anda bisa melanjutkan ceritanya sendiri...
Hapusayo...cobalah ber-imaji....hehehe
janji mas Budi,harus ditepati yah hehehe
HapusKunjungan balik Kang, selamat malam, maaf komen tidak berhubungan dengan posting Kang Haji, namun menanggapi pertanyaan kang haji di komen blog saya, terus terang saya juga tidak tahu tentang hal itu Kang, karena pengetahuan saya yang masih dangkal. Mungkin, kalau kita mau kasih tautan atau hal lainnya masuk ke FB, harus melalui persetujuan dengan FB, biasanya ada proses seperti itu. Atau kalau tidak, coba Kang haji bertanya kepada sobat blogger yang memang mumpuni dan berkaitan dengan masalah Kang Haji. Demikian Kang, mohon maaf kalau saya belum bisa membantu. Salam..
BalasHapusTerima kasih, Kang Boku.
Hapusya, Kang Haji pun tak mengerti kenapa bisa seperti itu?
sekali lagi terima kasih telah meluangkan waktu untuk merespon apa yang Kang Haji pertanyakan. Meski tidak sampai pada apa yang dibutuhkan, akan tetapi respon yang Kang Boku berikan merupakan hal yang sangat-sangat membahagiakan buat Kang Haji.
sekali lagi terima kasih banyak, Kang Boku....
bila esok atau lusa Kang Haji belum menemukan solusi, sementara Kang Boku disana telah menemukannya atau barangkali punya referensi dari masalah yang Kang Haji miliki, Kang Haji harap Kang Boku kembali sudi untuk memberi tahu Kang Haji. Hehehe....
sekali lagi terima kasih dan maaf bila Kang Haji merepotkan serta telah lancang mengganggu waktu Kang Boku.
Hatur nuhun, kang Boku...hehehe....
Bismillahirrahmanirrahim
BalasHapusAssalamualaikum Wr. Wb.
Silaturahmi kang Haji, jaman pribados alitkeneh mah di lembur teu aya TV nu aya ukur cempor he...he...kadieukeuna gambar to'ong komo internet mah
"Sebuah cerita penuh makna akan tertumpah melalui berbagai cara dari pengelana yang berjalan menyusuri karang dan terjal, hingga hanya sebagian kecil saja yang mengerti tentang isi cerita seorang pengelana".
"Seorang Habib melarang untuk menyalakan TV sama sekali karena dampak yang di timbulkan ternyata dapat merusak akhlak anak didiknya".
"Seorang pencuri berhasil memasuki rumah sasarannya,pada saat bersamaan TV yang akan dicurinya menayangkan acara dakwah yang dengan ijin Allah menjadikan pencuri ini seorang ulama"
Wallahu ‘alam bish showab.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Waalaikumsalam, Kang Deden...
HapusAri kapungkur mah memang kitu Kang Deden, ngan untung we Kang Haji mah teu kantos ngalaman ari mung ukur cempor mah, da lahirna kabehdieukeun nana. hehehe...
ngan sagala rupi oge tergantung nu ngagunakeun nana, tipi tiasa janten mudharat pami anu ditontona pidosaeun hungkul, tapi tiasa oge janten maslahat pami dicandak nu saena, sadayana oge tergantung urangna mereun nyak...da hade goreng mah urang nu nangtoskeun mereun...hehehe.
sawios kang Haji,teknologhi semakin maju,yang pentingmah kita tinggal memilih we,yang baiknya kita ambil dang yang buruknya kita buang kalau bisa dialungkeun welah nu burukna hehehe
BalasHapus